Secara umum sejarah Minangkabau hanya dapat diketahui melalui Tambo. Tambo adalah suatu hikayat yang menjelaskan tentang asal usul nenek-moyang orang Minangkabau, sampai tersusunnya ketentuan-ketentuan adat dan budaya Minangkabau yang berlaku sekarang. Sejarah Minangkabau memang banyak diliputi ketidakpastian, terutama waktu sebelum kedatangan Islam. Karena sejarah hanya dituturkan secara turun temurun dalam bentuk cerita rakyat yang diduga banyak mengandung unsur dongeng. Setelah cerita-cerita rakyat itu dibukukan, cerita ini kemudian dikenal dengan istilah Tambo. Penulisan tambo terkadang disisipi pula oleh pendapat pribadi penulisnya, atau pendapat umum yang berkembang saat penulisan itu, sehingga muncullah berbagai macam versi tambo yang asalnya sama. Tidak mengherankan pula kalau kemudian muncul penilaian bahwa hanya terdapat 2% fakta sejarah dalam tambo itu, sehingga selebihnya adalah mitos-mitos (Mansoer) 1879:ix).
Dalam masyarakat Minangkabau masa lampau, penyebaran tambo umumnya berlangsung dari niniek ke mamak, kemudian dari mamak ke kemanakan, secara terus menerus. Isi tambo yang penting diceritakan yaitu mengenai asal nenek-moyang dan ketentuan adat. Pertama dilakukan secara lisan melalui kaba (dinyanyikan). Kemudian muncul tambo berbentuk tulisan dengan huruf latin dan arab. Munculnya tulisan-tulisan mengenai tambo yang relatif seperti asli, ditulis oleh Batuah Sango (1955) dan Dt.Nagari Basa (1966). Terdapat berbagai jenis Tambo, ada yang dimasuki interpretasi pribadi dan ada pula yang khusus menulis adat saja. Jadi ada Tambo lisan, tulisan, asli, saduran dan terjemahan. Ringkasan isi Tambo yang beredar di Sumatera Barat adalah yang disesuaikan dengan ajaran Islam. Tambo tertua bertuliskan Arab Melayu, namanya Tambo Loyang umurnya kira-kira 200 tahun. (Dokumen Skrip Sajian CD Serial Aspek Budaya Minangkabau. UPTD Museum Nagari, Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Propinsi Sumatera Barat, 2003) Tetapi dalam ketiadaan catatan sejarah itu, masyarakat Minangkabau umumnya sepakat mengatakan bahwa nenek-moyang mereka berasal dari puncak gunung. Merapi di Sumatera Barat.
terungkap dalam mamang adat sebagai berikut: Dari mano titiak palito Dari tangluang nan barapi Dari mano asa nenek moyang kito Dari puncak Gunuang Marapi (Tun Sri Lanang, 1621, Yamin, 1951, Sejarah Melayu) Di dalam Tambo Alam dikutipkan beberapa kalimat yang memberikan petunjuk, bahwa nenek-moyang suku Minangkabau berdatangan dari Tanah Basa (India Selatan) menempuh perjalanan laut. Serangkuman pantun berbunyi: Pisau Sirauik bari hulunyo- Diasah mangko bamato Lautan sajo daulunyo- Mangko banamo Pulau Paco Cerita lisan yang disampaikan turun-temurun menyatakan bahwa perjalanan laut memakan waktu yang sangat lama, sehingga di dalam Tambo dibunyikan: “......dek lamo kalamoan nampaklah gosong dari lauik nan sagadang talue itiek, sadang dilamun-lamun ombak” (artinya: karena lama kelamaan tampaklah gosong dari laut yang “sebesar telur itik”– kondisi saat itu, sedang dalam keadaan hilang-hilang timbul ditengah-tengah ombak). Di sanalah berlabuh nenek-moyang bersama rombongannya. Pada umumnya pendapat-pendapat itu tidak bertentangan, karena nenek-moyang ras Melayu berdatangan dari daerah Yunan-Utara melalui lembah lembah sungai besar ke Tongkin, Annam dan Kocin Cina terus kepulauan Nusantara ini, ± 2000 tahun sebelum Masehi secara bergelombang.
Comments
Post a Comment