Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Written By Irhash A. Shamad on 06 Oktober 2010 | 22.48

Salah satu lembaga sosial yang mewakili kepentingan masyarakat adat di Sumatera Barat adalah Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Organisasi ini (idealnya) merupakan wadah penyaluran aspirasi komunitas adat dalam hubungannya dengan pelestarian nilai-nilai adat dalam masyarakat, disamping, tentunya, dalam menjaga kepentingan komunitas adat itu sendiri. Namun dalam perjalanan sejarahnya ternyata fungsi itu kurang terlihat signifkan. Oleh karena, secara historis, struktur Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau sebagai organisasi yang mewadahi ninik mamak dan pemuka adat, sebenarnya tidak terdapat dalam struktur kepemimpinan tradisional masyarakat di daerah ini; tidak ada organisasi penghulu diatas penghulu-penghulu Nagari. Hubungan antar Nagari hanya ada bersifat kultural semata, yaitu adat Minangkabau. Bahkan tidak ada garis hirarkhi antara nagari-nagari itu sendiri dengan pusat kerajaan Pagaruyung sendiri.

Pembentukan wadah organisasi LKAAM bukanlah muncul dari masyarakat, akan tetapi merupakan inisiatif dari aparat pemerintah, yaitu berawal dari munculnya gagasan dari Panglima Komando Antar Daerah Letjen TNI Mokoginta dan Panglima Kodam III/17 Agustus. Pada awalnya masyarakat Sumatera Barat sangat optimis dengan dibentuknya wadah LKAAM ini, karena dengan demikian berbagai kepentingan komunitas adat akan terlindungi dari intervensi kepentingan-kepentingan diluarnya, yang dengan itu pula eksistensinya akan tetap terpelihara ditengah-tengah perubahan-perubahan politik di negara ini. Hal ini memang sejak lama diidamkan oleh masyarakat, khususnya sejak nagari-nagari tidak lagi memiliki otonomi atas wilayahnya oleh karena adanya struktur supra nagari yang memiliki otoritas yang lebih kuat.

Di awal kemerdekaan kepentingan komunitas adat di daerah ini diwakili oleh Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM). Majelis Kerapatan Adat ini telah memperlihatkan peranannya dalam mempertahankan kepentingan komunitas etnik pada waktu Kerapatan Adat Nagari (KAN) tidak lagi dimasukkan menjadi bahagian dari kepemimpinan Nagari dalam Maklumat Residen Sumatera Barat No. 20 dan 21 tanggal 21 Mei 1946. Pada Pemilu pertama 1955, organisasi ini bahkan menjadi satu kekuatan politik di Sumatera Barat, yaitu : Partai Kerapatan Adat.

Prakarsa untuk mewadahi ninik mamak dan penghulu adat dalam organisasi LKAAM oleh kalangan militer di awal Orde Baru, sebenarnya lebih didorong oleh keinginan untuk membersihkan para penghulu adat yang terlibat dengan kegiatan Partai Komunis. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila kemudian organisasi ninik mamak ini sangat dekat dengan pemerintah dan kalangan ABRI. Ketua LKAAM sendiri dipegang oleh Baharuddin Dt Rangkayo Basa yang adalah juga Kepala Jawatan Penerangan Sumatera Barat. Sedangkan Kapten Saafroeddin Bahar (perwira Kodam) yang sekaligus Ketua DPD Golongan Karya juga duduk dalam sekretariat LKAAM sendiri. Dengan demikian organisasi ini sebenarnya lebih banyak berperan sebagai perpanjangan tangan pemerintah dan Golongan Karya. Sebagai penyangga kepentingan pemerintah,  menjelang Pemilu 1971 organisasi ini telah memperlihatkan peran aktifnya dalam mensosialisasikan kekuatan politik Orde Baru, dalam mencari dukungan masyarakat, terutama diwilayah pedesaan. Hingga mengantarkan Golkar menjadi kekuatan mayoritas di daerah ini pada Pemilu 1971.

LKAAM sebagai organisasi adat bentukan pemerintah, dalam anggaran dasarnya, dicantumkan bahwa tujuan organisasi ini adalah untuk melestarikan nilai-nilai luhur adat Minangkabau serta mengembangkan falsafat adat Minangkabau yaitu : Adat basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah. Sebagai organisasi kemasyarakatan yang berorientasi kultural, wilayah kerja organisasi ini ternyata tidak meliputi semua wilayah kultural Minangkabau, akan tetapi hanya mengikuti batasan wilayah teritorial propinsi Sumatera Barat. Induk Organisasi ini berada di ibukota propinsi dan secara hirarkhis mempunyai cabang disetiap Daerah tingkat II Kabupaten/Kotamadya dan di tingkat Kecamatan. Untuk tingkat Nagari, ada Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang tidak mempunyai hubungan struktural secara langsung dengan LKAAM tingkat Kecamatan, tetapi hanya bersifat konsultatif saja, terutama menyangkut program-program yang dilaksanakan di tingkat pedesaan.

Di dalam susunan kepemimpinan lembaga ini, selain terdiri dari unsur-unsur pemuka adat, pemuka agama dan tokoh cendikiawan, juga terdapat unsur pemerintahan daerah. Struktur kepemimpinan LKAAM pada awal berdirinya terdiri dari : Payung Panji, Presidium, dan Badan Pekerja Harian. Sedangkan unsur pemerintahan daerah, dalam struktur kepemimpinan priode awal, menduduki posisi sebagai Payung Panji. Duduk sebagai Payung Panji pada waktu ini antara lain. Panglima Kowilhan I Sumatera, Panglima Kodam III/17 Agustus, dan Gubernur Kepala Daerah sendiri. Struktur ini juga berlaku di setiap kepengurusan LKAAM di daerah tingkat II dan kecamatan-kecamatan.

Sejak tahun 1974, terjadi perubahan struktur kepemimpinan pada lembaga ini. Istilah Payung Panji tidak lagi muncul dalam susunan kepengurusannya. Pada priode 1974-1978 struktur kepengurusannya terdiri dari tiga komponen, pertama : Dewan Pucuk Pimpinan, yaitu Ketua Umum, Wakil Ketua, Anggota, dan Penasehat, kedua : Pimpinan Harian, yang terdiri dari Ketua Umum, Sekretaris Jenderal, Bendahara, dan Pembantu Umum. Sedangkan unsur ketiga adalah Lembaga Pembinaan Adat dan Syarak, yang terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Anggota. Pada priode ini, jabatan Ketua Umum dalam struktur Pucuk Pimpinan dijabat oleh seorang intelektual yang juga penghulu dan sekaligus Rektor Universitas Andalas, yaitu Drs. Mawardi Yunus Datuk Rajo Mangkuto. Pada waktu ini, setidaknya secara struktural, sudah terlihat ada kemandirian pada lembaga ini dengan tidak masuknya unsur pemerintah daerah di dalam susunan kepengurusannya. Namun bukan berarti bahwa tidak ada intervensi ke dalam kelembagaan ini. Sejak awal, organisasi ini telah mengikatkan diri untuk menyalurkan aspirasi politiknya pada Golongan Karya. Ini artinya adalah loyalitas untuk pemerintah daerah, dan sangat tidak mungkin untuk menempatkan dirinya pada posisi yang berseberangan dengan pemerintah daerah. Karena itu, pada waktu pemerintah daerah menetapkan Jorong menjadi Desa yang mengakibatkan disfungsionalnya sistem Nagari, ternyata tidak menimbulkan reaksi yang begitu berarti dari lembaga ini .

Perubahan yang drastis dari kepengurusan LKAAM justru terlihat pada dua priode terakhir, dimana Gubernur Kepala Daerah langsung memegang kendali lembaga ini sebagai Ketua Umum dan Assisten Gubernur menduduki jabatan Ketua I. Seiring dengan perubahan ini pula, Musyawarah Besar LKAAM juga menghasilkan beberapa perubahan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi ini. Diantara perubahan yang dianggap mendasar adalah mengenai asas organisasi yang pada awalnya adalah : "Pancasila dan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" diganti dengan Pancasila saja tanpa mencantumkan dasar falsafah adat itu .

Sebagai organisasi kemasyarakatan, LKAAM dalam perkembangannya tidak lepas dari berbagai dinamika tarik menarik kepentingan. Sebagai mitra pemerintah yang hidup dengan satu-satunya sumber dana dari bantuan pemerintah daerah, ia harus menunjukkan loyalitas bagi kepentingan pemberi dana itu sendiri. Namun sebagai organisasi yang menyandang simbol komunitas etnis Minangkabau, juga tidak mungkin melepaskan tanggung jawabnya dari segala persoalan kultural yang muncul dalam komunitas ini.

Dalam perjalanannya, organisasi LKAAM ini telah memperlihatkan perannya dalam rangka meningkatkan serta melestarikan nilai-nilai kebudayaan Minangkabau melalui berbagai program pembinaan-pembinaan dan penyebaran pengetahuan adat Minangkabau, baik melalui ceramah, penataran, serta mengupayakan kerjasama dengan Kanwil Departeman Pendidikan dan Kebudayaan untuk memasukan pelajaran adat sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah me-nengah di Sumatera Barat . Meskipun secara umum program-program yang telah dijalankan itu tidak banyak memperlihatkan hasilnya, sebagaimana yang terlihat pada realitas sosial pada dasa warsa terakhir , namun hal ini setidaknya menunjukkan keberhasilan lembaga ini dalam meyakinkan pemerintah daerah serta instansi terkait untuk memberikan "perhatian" terhadap aspek-aspek kultural masyarakat.

Di sisi lainnya juga terlihat bahwa lembaga ini secara akomodatif telah memanfaatkan otoritasnya di bidang adat ini dalam mensukseskan pembangunan daerah sendiri. Beberapa diantaranya yang dapat ditunjukkan adalah dalam memasyarakatkan Perda No. 13 Tahun 1983 tentang Nagari Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat, lembaga ini telah mendampingi kunjungan kerja pemerintah daerah ke daerah-daerah tingkat II. Hal ini tentunya dalam rangka memberi pengertian-pengertian kepada masyarakat komunitasnya tentang "maksud baik" pemerintah dengan dikeluarkannya Perda tersebut. Demikian juga peran yang tidak sedikit diberikan oleh lembaga ini dalam mensukseskan program peningkatan ekonomi melalui pemanfaatan tanah-tanah ulayat sebagai lahan penanaman modal para investor di Sumatera Barat, menyukseskan program IDT, dan yang tak kalah pentingnya adalah menyukseskan Pemilihan Umum dan memenangkan Orde Baru .

Dari apa yang telah dikemukakan dapat dilihat bahwa kehadiran lembaga ini tidak lebih banyak perannya dalam membangkitkan nilai-nilai kultural komunitasnya, dibanding dengan program-program bernuasa kultural yang diberikan untuk melegitimasi program-program pemerintah yang dijalankan. Karena itu, tidak mengherankan bila kehadiran LKAAM hingga saat ini tidak semakin meningkatkan kesadaran sosial masyarakat di Sumatera Barat terhadap adat Minangkabau, apalagi untuk peningkatan implementasi komitmen Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah.
© Irhash A. Shamad

Sumber : Irhash A. Shamad, 2001, Hegemoni Politik Pusat dan Kemandirian Etnik di Daerah, Kepemimpinan Sumatera Barat di Masa Orde Baru, Padang : IAIN IB Press Bab 5

Comments